Senin, 16 Agustus 2010

Prevensi terhadap Tingkah Laku Homosexual

Prevensi / Upaya-upaya yang dilakukan Terhadap Homosexual
 
            Kasih dan penerimaan tanpa syarat serta komunikasi dua arah adalah kata kunci yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam usahanya untuk mencegah terjadinya perilaku homoseksual pada anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, kekecewaan yang dialami oleh orangtua ketika mendapati anak-anak mereka tidak sesuai dengan harapan mereka (baik dalam hal gender ataupun kecenderungan/karakteristik gendernya). Tanpa disadari, hal ini menyebabkan penolakan terhadap diri si anak.

            Orangtua perlu belajar untuk menerima setiap anak yang Tuhan percayakan apa adanya, lengkap dengan kelebihan dan kelemahannya. Orangtua dapat mengambil bagian dalam mendampingi anak-anak mereka untuk mengatasi kelemahan yang ada pada mereka.



Beberapa langkah praktis berikut dapat membantu orangtua dalam mengatasi kecenderungan homoseksual pada anak:
1.      Menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis, ayah dan ibu yang saling mengasihi dan masing-masing menjalankan fungsinya dalam keluarga.

2.      Tidak mengolok-olok kelemahan anak. Tapi justru memberi dukungan pada anak dengan perkataan yang membangun.

3.      Hindari pemberian “label” banci  kepada anak laki-laki atau tomboy kepada anak perempuan.

4.      Menjadi teman bicara yang baik untuk anak-anak. Sebagian besar pelaku homoseksual pernah melewati suatu masa kesepian di mana mereka ingin mengungkapkan pergumulan mereka kepada seseorang yang dapat mereka percayai, tapi mereka tidak menemukannya.

5.      Para ayah perlu terlibat langsung dalam membina hubungan dengan anak-anaknya. Menjadi figur teladan seorang pria bagi anak laki-laki dan memiliki kepekaan untuk berinteraksi dengan anak perempuannya. Para ibu perlu menyadari bahwa anak-anak laki-laki harus melepaskan diri dari keserupaan dan kedekatan dengan ibunya, untuk bertumbuh menjadi seperti ayahnya. Pergeseran ini tidak dialami oleh anak-anak wanita.

6.      Orangtua perlu untuk terus menerus membina komunikasi dengan anak-anak mereka pada setiap tahap kehidupannya.

7.      Ajarkan pada anak-anak sejak usia dini bahwa tubuh mereka adalah bait Roh Kudus  dan seharusnya diperlakukan secara terhormat. Ajari mereka untuk melindungi diri dari pelecehan seksual dan berbicara terbuka tentang perlakuan yang mereka anggap aneh atau tidak wajar dari seseorang.

8.      Berhati-hati dalam mempercayakan anak-anak pada pengawasan orang lain. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh “orang dekat” atau orang “kepercayaan”, bahkan di dalam lingkungan yang dianggap cukup rohani.


"Di tengah-tengah pergeseran nilai-nilai dunia ini, kami percaya Tuhan mengaruniakan keluarga sebagai perahu penyelamat bagi generasi selanjutnya. Adalah tugas kita bersama untuk mengokohkan sendi-sendi keluarga dan menjadikannya tempat pertumbuhan yang memberikan kenyamanan bagi setiap individu yang tinggal di dalamnya." (** Daniel & Lydia Kurnia)

Minggu, 15 Agustus 2010

PROSES DAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA HOMOSEKSUAL


Terdapat tiga garisan besar kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual sebagai berikut:

1. Biologis

Kombinasi / rangkaian tertentu di dalam genetik (kromosom), otak , hormon, dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya homoseksual.

Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra, S.Si 5 mengemukakan bahwa berdasarkan kajian ilmiah, beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat dari :

Susunan Kromosom

Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.

Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria. Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.

Ketidakseimbangan Hormon

Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.

Struktur Otak

Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.

Kelainan susunan syaraf

Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.

Kaum homoseksual pada umumnya merasa lebih nyaman menerima penjelasan bahwa faktor biologis-lah yang mempengaruhi mereka dibandingkan menerima bahwa faktor lingkunganlah yang mempengaruhi. Dengan menerima bahwa faktor biologis-lah yang berperan dalam membentuk homoseksual maka dapat dinyatakan bahwa kaum homoseksual memang terlahir sebagai homoseksual, mereka dipilih sebagai homoseksual dan bukannya memilih menjadi homoseksual.

Namun sebagai informasi tambahan pula, faktor – faktor biologis yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual ini masih terus menerus diteliti dan dikaji lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya.

2. Lingkungan

Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi terbentuknya homoseksual. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat mempengaruhi terbentuknya homoseksual terdiri atas berikut:

A. Budaya / Adat-istiadat

Dalam budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu terdapat ritual-ritual yang mengandung unsur homoseksualitas, seperti dalam budaya suku Etoro6 yaitu suku pedalaman Papua New Guinea, terdapat ritual keyakinan dimana laki-laki muda harus memakan sperma dari pria yang lebih tua (dewasa) untuk memperoleh status sebagai pria dewasa dan menjadi dewasa secara benar serta bertumbuh menjadi pria kuat.

Karena pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut, maka demikian pula budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitas dapat mempengaruhi seseorang. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan, maupun pola pemikiran tertentu terutama sekaitan dengan orientasi, tindakan, dan identitas seksual seseorang.

B. Pola asuh

Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi terbentuknya homoseksual. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan. Dan pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau perempuan tersebut, meliputi:

* Kriteria penampilan fisik : pemakaian baju, penataan rambut, perawatan tubuh yang sesuai, dsbnya

* Karakteristik fisik : perbedaan alat kelamin pria dan wanita; pria pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan wanta, pria pada umumnya tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan tenaga / otot kasar sementara wanita pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan otot halus.

* Karakteristik sifat : pria pada umumnya lebih menggunakan logika / pikiran sementara wanita pada umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan / emosi; pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan kecepatan, sementara wanita lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan ketelitian.

* Karakteristik tuntutan dan harapan :

Untuk masyarakat yang menganut sistem paternalistik maka tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas, berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti istri, dan anak-anak). Sementara untuk masyarakat yang menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.

Jika dilihat secara universal, sistem yang diakui universal adalah sistem paternalistik. Namun baik paternalistik maupun maternalistik, setiap orang tetap dapat berlaku sebagai pria ataupun wanita sepenuhnya. Yang membedakan pada kepala keluarga: pria dalam paternalistik dan wanita dalam maternalistik adalah pendekatan yang digunakan dalam memenuhi tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga.

Pola asuh yang tidak tepat, seperti contoh yang tidak asing yaitu: anak laki-laki yang dikenakan pakaian perempuan, didandani, diberikan mainan boneka, dan diasuh seperti layaknya mengasuh seorang perempuan, ataupun sebaliknya dapat berimplikasi pada terbentuknya identitas homoseksual pada anak tersebut. Mengapa demikian? Karena sejak dini ia tidak dikenalkan dan dididik secara tepat & benar akan identitas seksualnya, dan akan perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan.

C. Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis

Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat pada: orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya: anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat pada ibunya; dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama dengannya 7.

Homoseksual terbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi – apa, siapa, dan bagaimana – menjadi dan menjalani peranan sesuai dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita.

Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya tidak memerankan peranan identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Seperti: ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah – tak berdaya; atau orang tua yang homoseksual. Namun penting diketahui!! Tidak semua anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai homoseksual karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi dan tentunya juga karena kepribadian dan karakter setiap orang berbeda-beda.

Pada figur ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah, homoseksual dapat terbentuk pada anak dengan dinamika psikologis seperti yang dikemukakan oleh Leila CH Budiman8 sebagai berikut:

Anak seakan kehilangan model untuk menjadi laki-laki dan perempuan yang heteroseksual (orang yang tertarik secara seksual pada lawan jenisnya).

Dr N Littner, ahli psikoanalisis dari program Child Therapy, Chicago, mengatakan bahwa ibu seorang homoseksual sikapnya keras, agresif, kelaki-lakian, atau kekanakan dan tidak efektif, serta sering kali tidak stabil. Dia gagal dalam menciptakan rasa aman, membina hubungan dekat, dan menumbuhkan keberanian pada anak-anaknya. Ayah seorang homoseksual sering kali absen secara fisik atau jauh secara emosional, sering didominasi istrinya karena pasif dan lemah. Hubungan antara kedua orangtua tidak dekat, sering kali disertai rasa benci, dimana istri merendahkan suaminya yang lemah dan tidak efektif.

Dalam suasana demikian, anak perempuan maupun anak laki-laki menjadi bingung dan kehilangan model jenisnya sendiri yang diterima masyarakatnya. Anak perempuan kehilangan identitas femininnya dan tumbuh menjadi kelaki-lakian, keras, dan agresif. Karena kelaki-lakiannya dia juga jadi berminat secara seksual pada perempuan, jenisnya sendiri (lesbian). Sedang anak laki-laki tidak mendapat identitas maskulin, sukar mengadakan hubungan yang dekat dengan perempuan dan sukar menumbuhkan rasa cinta pada perempuan. Mereka takut melakukan itu dan merasa lebih aman mendekati laki-laki. Keadaan ini mudah membuat dia menjadi homoseksual (gay).

(Mengutip dari kolom Kompas CyberMedia mengenai konsultasi psikologi : Takut Jadi Homoseksual yang diasuh oleh Leila CH Budiman)

Dari uraian diatas , proses yang terjadi dapat dianalogikan demikian:

a. Anak akan melihat orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sebagai “kelompok jenisnya” dan anak adalah bagian dari “kelompok” ini.

b. Anak akan melihat orang tua yang tidak berjenis kelamin sama dengannya sebagai “kelompok di luar jenisnya” dan anak bukanlah bagian dari “kelompok” ini.

c. Apa yang dilakukan oleh orang tua yang tidak berjenis kelamin sama dengannya terhadap orang tua yang berjenis kelamin sama dengannya di-idiomkan dengan apa yang dilakukan oleh “kelompok di luar jenisnya” terhadap “kelompok jenisnya” dimana ia termasuk sebagai bagian kelompok ini; dan lebih jauh lagi hal ini diprediksi sebagai: gambaran apa yang akan dilakukan oleh kaum wanita terhadap dirinya nanti ketika ia menjalin hubungan dengan wanita (jika ia pria); dan apa yang dilakukan oleh kaum pria terhadap dirinya nanti ketika ia menjalin hubungan dengan pria (jika ia wanita).

Dalam kasus di atas jelas terlihat si anak laki-laki merasa tidak nyaman terhadap ibunya yang terlalu dominan dan memperlakukan ayahnya (yang adalah kelompoknya) secara tidak menyenangkan. Tanpa disadari oleh anak, kejadian ini seakan terekam dalam ingatannya dan dijadikan sebagai contoh bagaimana wanita akan memperlakukan dirinya nanti seandainya ia membina hubungan dengan wanita, dan ia sama sekali tidak mengingkan hal seperti demikian terjadi pada dirinya. Pada akhirnya ia jadi merasa lebih nyaman dan aman untuk berhubungan dengan kelompok jenisnya sendiri. Demikian sebaliknya yang terjadi pada anak perempuan.

Melakukan hubungan homoseksual yang bukan murni didasari oleh orientasi homoseksual (ketertarikan yang bersifat romantis) melainkan karena dimotivasi oleh rasa tergantung terhadap sesama jenis dan kebutuhan akan power (kuasa) disebut pseudohomoseksual (pseudohomosexual). The pseudohomosexual type is equated with “latent” or “unconscious” homosexuality9. Seorang pseudohomoseksual meyakini bahwa dirinya lemah dan tidak memiliki kuasa / kekuatan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan meraih apa yang diinginkannya sendirian. Karena itu ia mencari seseorang yang dapat dijadikannya sebagai pegangan, sebagai tempatnya berlindung dan bergantung. Dengan latar belakang pengalaman hidupnya, ia menemukan kenyamanan dan rasa aman ketika berhubungan dengan sesama jenisnya. Oleh karena itu seorang pseudohomosexual menjadi dependent kepada sesama jenisnya.

Sementara dalam kasus orang tua yang homoseksual, anak secara nyata dihadapkan pada sebuah fakta akan adanya hubungan homoseksual, dan hubungan demikian memang mungkin terjadi. Apabila hubungan diantara orangtua homoseksual tidak mengalami masalah dalam artian hubungan mereka baik-baik saja malah mungkin nampak harmoni, maka homoseksual dapat terjadi karena anak melakukan modelling terhadap orang tuanya.

D. Kekerasan seksual / Penderaan seksual / Sexual abuse & Pengalaman traumatik

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual. Banyak hal yang dapat membuat seseorang melakukan kekerasan seksual semacam ini, antara lain:

* Hasrat seksual / nafsu

* Pelampiasan kemarahan / dendam

* Ajang ngerjain orang, seperti: perploncoan dari senior kepada yunior, nge-bully teman yang culun, dan sejenisnya

Pada dasarnya semua orang yang melakukan hubungan seksual terhadap orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut sudah termasuk ke dalam kategori melakukan kekerasan seksual.

Seperti apa bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sangat bervariasi. Mulai dari memegang alat kelamin sesama jenis, menginjak-injak, memaksa untuk melakukan sesuatu hal terhadap alat kelaminnya sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga menggunakan alat-alat tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual.

Kekerasan seksual seperti ini menempatkan korban dalam sebuah situasi yang sangat ekstrim tidak menyenangkan, mengancam jiwa, tidak aman, meresahkan, kacau, dan membingungkan. Ini menjadi sebuah pengalaman traumatik dalam diri korban. Pengalaman demikian dapat mengganggu kondisi psikologis korban. Ia berusaha untuk menghindari ingatan mengenai kejadian tersebut yang membuatnya sangat tidak nyaman dan sangat terluka / “sakit”. Setiap hal yang memicu ingatannya terhadap kejadian tersebut membuatnya menjadi sangat resah, kadang muncul rasa marah, dan seringkali baik disadari maupun tanpa disadari korban melakukan upaya untuk merusak / “menyakiti” dirinya sendiri. Ini dinamakan trauma psikologis.

Pengalaman traumatik tidak hanya terbatas pada mengalami kekerasan seksual, melihat seorang yang melakukan kekerasan seksual ataupun melakukan hubungan homoseksual juga dapat menjadi sebuah pengalaman traumatik bagi seseorang.

Demikianlah terdapat 4 buah faktor lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual, yaitu: budaya / adat istiadat; pola asuh; figur orang yang berjenis kelamin sama; dan kekerasan seksual & pengalaman traumatik.

Keempat faktor ini mempengaruhi perkembangan psikologis dan pandangan / sikap seseorang terhadap sosial yang dapat disingkat dengan istilah perkembangan psikososial. Julie C. Harren mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan ini dikombinasikan dengan temparamen genetik yang mempengaruhi persepsi, secara keseluruhan akan menumbuhkan / membentuk homoseksual.

Bagaimana keempat faktor tersebut dapat mempengaruhi terbentuknya homoseksual, Sativoner menjelaskan demikian:

I explain that children look first to their same-sex parent and then to same-sex peers to form their own identity: to understand how they measure up, how they fit in, what value they have as male or female, what it means to be male or female, etc. When children do not form healthy same-sex bonds and their needs for same-sex connection go unmet, these needs do not go away; they simply intensify or take on another form. Typically, near puberty, these unmet needs take on a sexual form, the emotional needs become sexualized (Satinover, 199610).

Saya menjelaskan bahwa anak-anak pertama-tama akan melihat pada orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya dan kemudian melihat pada teman-teman bermain yang berjenis kelamin sama dengan dirinya untuk membentuk identitas dirnya sendiri: untuk mengerti bagaimana mereka bisa menjadi seperti mereka / memenuhi standard, menyesuaikan diri, apa saja nilai-nilai yang mereka miliki sebagai pria ataupun wanita, apa yang sebenarnya dimaksud dengan menjadi pria ataupun wanita, dan sebagainya. ketika pada anak-anak tidak terbentuk ikatan yang sehat dengan sesama jenis kelamin mereka dan kebutuhan mereka akan hubungan bersama sesama jenis kelamin tidak terpenuhi, maka kebutuhan ini tidaklah pergi; kebutuhan ini malah semakin meningkat atau mengambil bentuk lain. Khususnya, mendekati masa puber, kebutuhan yang tak terpenuhi ini mengambil bentuk seksual, kebutuhan emosional beralih menjadi seksual (Satinover, 1196).

Sativoner menjelaskan bagaimana berlangsungnya proses homoseksual pada anak-anak, kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana proses yang terjadi pada orang dewasa? Pada orang yang terbentuk menjadi homoseksual setelah dewasa, faktor lingkungan yang paling besar kemungkinan mempengaruhinya adalah kekerasan seksual dan pengalaman traumatik. Seperti telah sedikit dikemukakan di atas bahwa pengalaman traumatik membawa pada trauma psikologis, demikianlah juga yang terjadi pada korban dewasa. Alih-alih mereka berusaha menghindari sensasi dari pengalaman tersebut malah seringkali ketika mereka sedang sendiri, pengalaman dan sensasi tersebut muncul dan membayang-bayangi diri mereka, demikian juga dalam mimpi. Reaksi setiap orang atas hal ini tentulah berbeda-beda tergantung pada jenis kekerasan seksual yang dilakukan dan tergantung pula pada pribadi orang tersebut. Korban kekerasan seksual yang akhirnya menjadi homoseksual pada umumnya mereka merasakan “sakit”, juga mungkin merasakan “jijik” , kecewa, dan marah. Namun mereka juga teringat akan sensasi yang dirasakan ketika kejadian tersebut terjadi dan timbullah hasrat dalam diri mereka untuk merasakan kembali sensasi tersebut. Dorongan inilah yang membuat mereka mencoba-coba dan akhirnya merasakan kenyamanan hingga terbentuk menjadi homoseksual. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penjelasan lain dalam kasus terbentuknya homoseksual pada orang dewasa.

3. Interaksi antara biologis dan lingkungan

Penelitian yang dilakukan tidak pernah secara pasti menyatakan bahwa seseorang dilahirkan sebagai homoseksual. Dalam faktanya, penelitian yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak faktor, termasuk kemungkinan faktor biologis dan lingkungan yang berkontribusi terhadap orientasi homoseksual (LeVay, 199611; Whitehead & Whitehead, 199912).

Beberapa pihak mengatakan bahwa dengan menerima faktor lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual berarti hendak menyatakan bahwa kaum homoseksual memilih untuk menjadi homoseksual. Pernyataan ini dicapai dengan didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu diberikan kehendak bebas untuk memilih dan menentukan jalan hidup mereka sendiri. Dengan demikian meskipun lingkungan dapat melakukan segala sesuatu, menciptakan situasi dan kondisi tertentu, dan mempengaruhi seseorang namun keputusan tetaplah berada di tangan orang tersebut untuk memilih. Maka muncullah sebuah pernyataan bahwa homoseksual adalah hasil sebuah pilihan yang dibuat oleh diri sendiri.

Sementara dari sisi faktor biologis, dengan menerima faktor biologis sebagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual berarti hendak menyatakan bahwa kaum homoseksual terlahir dan dipilih sebagai homoseksual. Pernyataan ini dicapai dengan didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa manusia lahir dengan kondisi genetik, otak, hormon, dan sususan syaraf tertentu yang telah diberikan oleh-Nya demikian adanya. Mereka tidak memilih untuk memiliki rangkaian genetik, otak, hormon, dan susunan syaraf tertentu yang dapat menjadikan mereka homoseksual. Kaum homoseksual tidak memilih untuk menjadi homoseksual. Mereka lahir dengan kondisi demikian, mereka dipilih sebagai homoseksual.

Kedua pemikiran ini nampak saling bertolak belakang, satu di ekstrim kanan dan satu lagi di ekstrim kiri. Julie C. Harren membawa sebuah pemikiran baru dalam menyikapi hal ini bahwa lingkungan turut berperan dalam membentuk homoseksual. Lingkungan turut mengambil bagian dan bukan semata-mata pilihan dari seseorang untuk menjadi homoseksual. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang (faktor lingkungan) dikombinasikan dengan temparamen genetik (faktor biologis) yang mempengaruhi persepsi, maka secara keseluruhan akan menumbuhkan / membentuk homoseksual.

Dengan demikian, untuk yang memandang homoseksual sebagai pengaruh dari faktor biologis, bahwa seorang homoseksual dipilih sebagai homoseksual nampaknya homoseksual bukan menjadi harga mati. Sementara untuk yang memandang homoseksual sebagai pengaruh lingkungan, bahwa seorang homoseksual memilih untuk menjadi homoseksual nampaknya perlu mengembangkan sikap lebih toleran, menghargai, berempati, dan kindness terhadap homoseksual, tidak semata-mata menghakimi dan mengecam – karena lingkunganpun turut berperan dan turut ambil bagian dalam membentuk homoseksual.

Definisi Homoseksual

’Homoseksualitas’ (Yun: homoios=sama; dan Latin: sexus=jenis kelamin) merupakan pengertian umum mencakup banyak macam kecenderungan seksual terhadap kelamin yang sama, atau secara lebih halus: suatu keterarahan kepada kelamin yang sama (homotropie; tropos=arah, haluan). Istilah homoseksualitas tampak terlalu menekankan aspek seksual dalam arti sempit. Maka dianjurkan menggunakan istilah ’homophili’ (philein=mencintai).


Sedangkan definisi umum adalah seorang homophil ialah seorang pria atau wanita, tua atau muda, yang tertarik atau jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama, dengan tujuan mengadakan persatuan hidup, baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Dalam persatuan ini, mereka mengahayati cinta dan menikmati kebahagiaan seksual yang sama seperti dialami oleh orang heteroseksual.

Di negara Indonesia, data statistik menunjukkan 8-10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian dalam jumlah bermakna terus melakukannya. (Kompas Cyber Media, 2003 1).

Hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dede memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia. Dr. Dede Oetomo, adalah “presiden” gay Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama dengan pasangan homonya, beliau juga seorang “pentolan” Yayasan Gaya Nusantara. (Gatra, 2003 2)

Data ini menunjukkan eksistensi keberadaan kaum homoseksual di Indonesia. Homoseksual hingga saat ini masih menjadi issue yang kontrakdiktif di masyarakat, tidak hanya kontradiktif dalam hal genealogi nya, akan tetapi sampai pada perdebatan apakah kaum homoseksual bisa di terima di masyarakat.

Ketika seseorang menyebutkan homoseksual, kata-kata homoseksual ini dapat mengacu pada tiga aspek 3:

1. Orientasi Seksual / Sexual Orientation

Orientasi seksual – homoseksual yang dimaksud disini adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama. American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa orientasi seksual berkembang sepanjang hidup seseorang.

Sebagai informasi tambahan, dalam taraf tertentu, pada umumnya setiap orang cenderung memiliki rasa ketertarikan terhadap sesama jenis. Seperti misalnya saja: pria yang mengidolakan aktor / musisi / tokoh pria tertentu dan juga sebaliknya wanita yang mengidolakan aktris / musisi / tokoh wanita tertentu. Kadar ketertarikan seperti ini umum dimiliiki oleh banyak orang dan tidak termasuk dalam orientasi homoseksual.

2. Perilaku Seksual / Sexual Behavior

Homoseksual dilihat dari aspek ini mengandung pengertian perilaku seksual yang dilakukan antara dua orang yang berjenis kelamin sama.

Human sexual behavior encompass a wide range of activities such as strategies to find or attract partners (mating and display behaviour), interactions between individuals, physical or emotional intimacy, and sexual contact (Wikipedia 4).

Perilaku seksual manusia melingkupi aktivitas yang luas seperti strategi untuk menemukan dan menarik perhatian pasangan (perilaku mencari & menarik pasangan), interaksi antar individu, kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual (Wikipedia).

3. Identitas Seksual / Sexual Identity

Sementara homoseksual jika dilihat dari aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian. Sebutan gay digunakan pada homoseksual pria, dan sebutan lesbian digunakan pada homoseksual wanita.

Tidak semua homoseksual secara terbuka berani menyatakan bahwa dirinya adalah gay ataupun lesbian terutama kaum homoseksual yang hidup di tengah-tengah masyarakat / negara yang melarang keras, mengucilkan, dan menghukum para homoseksual. Para homoseksual ini lebih memilih untuk menutupi identitas mereka sebagai seorang gay ataupun lesbian dengan tampil selayaknya kaum heteroseksual.

Rabu, 11 Agustus 2010

Eksistensi Kaum Homoseksual

Homosekualitas pada pria telah ada sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa homoseksual yakni rasa tertarik secara perasaan dan atau secara erotik (seksual) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik, terdapat pada hampir semua bentuk budaya dan lapisan masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap kaum homoseksual dari berbagai kurun waktu sejarahpun ternyata berlainan.
Secara tradisional homoseks dipandang sebagai gangguan atau penyakit jiwa, dan ternyata asumsi tersebut masih tetap berkembang terus di masyarakat kit hingga saat ini. Padahal menurut hasil penelitian Green (1972) bahwa dari segi manapun ditinjau (genetika, antropologi, psikodinamikia, evolusi, neuroendokrinologi, sosio-edukatif) hasilnya adalah tidak valid untuk menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan gangguan jiwa.
Akhir-akhir ini banyak kalangan yang mulai menyadari bahwa homoseks tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan jiwa dan atau deviasi sosial. Homoseks telah dapat dipahami sebagai manifestasi seksualitas manusia yang pada dasarnya adalah suatu kontinum dengan pelbagai gradasi kelabu.

Kontinum seksualitas manusia menurut Kinsey dibagi 7 gradasi, mulai dari angka 0 sampai dengan angka 6. 6:
  • Gradasi (0) Heteroseksual eksklusif (semata-mata/tulen)

  • Gradasi (1) Heterosek lebih menonjol, homoseks hanya kadang-kadang atau gradasinya sedikit saja

  • Gradasi (2) Heteroseks lebih menonjol dan homoseks lebih sering

  • Gradasi (3) Heteroseks dan homoseks gradasinya sama

  • Gradasi (4) Homoseks lebih menonjol, heteroseks lebih sering

  • Gradasi (5) Homoseks lebih menonjol dan heteroseks hanya kadang-kadang

  • Gradasi (6) Homoseksual eksklusif (semata-mata/tulen).
Bila diteliti penyebab homoseks, baik dari segi biologik hormonal, perkembangan psikodinamik maupun pengaruh sosial memberi hasil yang beraneka ragam. Perbedaan hasil kajian ini menyebabkan pandangan masyarakat terhadap kaum homoseks masih tetap kontroversi. Kontrovensi pendapat inilah memicu perlakuan masyarakat yang kurang wajar terhadap kaum homoseks. Mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak punya malu, tidak berbudaya dan menjadi patologi sosial. Seolah mereka lahir di luar lingkungan manusia dan tumbuh karena kutukan Tuhan yang akhirnya berkembang menjadi sampah busuk di tengah masyarakat.

Dapat kita bayangkan jika seorang pria homoseks yang lebih keren disebut 'gay' akan sangat tertekan secara psikologis jika senantiasa harkat dan martabatnya dilecehkan oleh masyarakat. Lantas bagaimana mereka (gay) akan mampu berkarya dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, berperan dalam pengembangan sumber daya manusia bila keberadaan mereka tetap tidak punya tempat di hati masyarakat? Mungkin sangat sedikit di antara kita yang berkenan untuk memikirkan hal tersebut. Sebab kita cenderung takut dianggap bagian dari komunitas kaum gay, jika kita peduli pada permasalahan mereka. Akhirnya masyarakat kita tidak punya kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi mereka dan senantiasa menganggap bahwa kaum gay tidak pantas diperhitungkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Homoseksual memang bukan keberuntungan, akan tetapi bukan pula sesuatu yang memalukan, sebab bukan tindak kejahatan, bukan degradasi dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit kejiwaan. Tetapi apakah semua orang akan mau peduli dan menghargai keberadaan mereka? Rasanya mustahil, sebab jangkauan untuk menghargai dan memahami perasaan mereka, bersimpati atas prestasi kerja mereka, untuk ngobrolpun barangkali kita tidak berkenan. Bahkan ibu kandung sendiri yang bertarung antara hidup dan mati di saat akan melahirkannya, tidak sudi lagi mengakuinya sebagai anak. Alasan malu dan memalukan, aib bagi keluarga, menjadikan keluarga atau orang tua tega untuk mengusirnya dari rumah. Padahal tidak seorangpun di antara kaum gay yang minta untuk dilahirkan ke dunia ini. Apabila anggota keluarga sendiri sudah tidak mau menerima keberadaan seorang gay, maka besar kemungkinan anggota masyarakat akan lebih tidak menerima dan menghargainya. Hal ini tentu sangat menyakitkan bagi seorang gay, sehingga tidak mengherankan jika banyak di antara kaum gay yang melakukan upaya percobaan bunih diri sebagai jalan pintas mengakhiri tekanan batin dan timbunan emosi yang terakumulasi. Mengkonsumsi narkoba untuk menghilangkan luka lara walau sifatnya hanya sementara. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada yang nekad mencari dan berupaya menjerumuskan orang lain untuk memperbanyak jumlah komunitas sebagai wujud perasaan terisolir dari lingkungan masyarakat.

Sebenarnya kita juga sulit bahkan teramat sulit untuk menyalahkan masyarakat yang tidak berkenan menerima keberadaan kaum gay, sebab masyarakat memiliki sistem nilai yang harus dijalankan sesuai peran dan fungsi anggotanya. Kita memiliki sex role (peran jenis), peran sosial dan berbagai peran lain yang diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan kalau kalangan profesionalpun (psikolog, psikiater) yang telah banyak mempelajari tentang prilaku manusia dan kelainan kejiwaan manusia serta faktor diterminannya, masih banyak yang sulit menerima keberadaan kaum gay secara murni. Artinya mereka bisa menerima keberadaan kaum gay hanya karena tuntutan profesi semata. Namun secara jujur dari lubuk hati yang paling dalam, ia sulit untuk menerima dan menghargai eksistensi kaum gay. Ia akan merasa nyaman bila klien yang ternyata seorang gay, tidak datang lagi pada konseling lanjutan. Bila berada di tempat umum misalnya, mereka juga akan menghindar agar jangan sampai bertemu dengan si gay yang menjadi kliennya, sebab sebagai profesional ia tidak ingin nama baiknya tercemar hanya karena bertegur sapa dengan seorang gay.

Menghargai dan mengakui keberadaan kaum gay, juga dipersulit penggolongan jenis kelamin manusia yang sifatnya dikotomis, yakni pria dan wanita. Status pria-wanita sekaligus belum dapat diakui, apalagi harus dicantumkan sebagai identitas pada kartu pengenal. Akhirnya upaya melegitimasi keberadaan kaum gay masih jauh dari angan, sekalipun akhir-akhir ini perkawinan kaum gay telah dapat disahkan oleh dewan gereja tertentu, khususnya di negara Barat. Tetapi tindakan ini masih sangat ditentang banyak kalangan, terutama yang tidak satu paham atau berbeda aliran. Padahal legalisasi ini barangkali ditujukan sebagai upaya menghargai eksistensi mereka sebagai manusia yang butuh penghargaan. Mereka butuh dukungan dari masyarakat, sehingga tidak perlu menyembunyikan kedukaan di balik senyuman dan menyelimuti konflik batin dengan berupaya berpenampilan macho yang akhirnya terkesan munafik.Perlu disadari bahwa kaum homoseks pria tidak minta dilebihkan atau diperlakukan secara istimewa, namun mereka juga tidak ingin dianggap sebagai sampah masyarakat, sebab mereka toh dapat berdaya guna dan menghasilkan suatu karya spektakuler yang dapat dinikmati umat manusia dan demi alasan kemanusiaan.

Kita tidak bisa pungkiri Elton John si penyanyi kondang itu misalnya, mampu menghibur masyarakat dunia lewat lahu-lagunya. Barangkali ia sendiri belum tentu dapat terhibur dengan lagu yang dinyanyikannya, sebab keberadaannya sebagai seorang gay sangat dicemooh banyak anggota masyarakat. Bahkan banyak penggemarnya yang berubah menjadi sangat antipati setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang gay. Beruntung ia seorang artis penyanyi yang populer, sehingga banyak kalangan menganggap pola hidupnya adalah trend perilaku di kalangan selebritis. Orang tidak begitu mau peduli mengapa ia menjadi seorang gay. Apakah pengalaman masa lalunya yang suram ataukah adanya kelainan hormonal. Kalangan ilmuanpun kelihatannya tidak berupaya untuk mengetahui gradasi homoseksualitas dirinya. Semua beranggapan bahwa homoseksualitas adalah trend perilaku orang tenar yang memiliki banyak uang dan sudah lazim terjadi di kalangan artis. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan artis yang kurang beruntung lainnya, atau orang desa yang bekerja sebagai buruh tani dan terlilit hutang dengan rentenir. Maukah kita mengatakannya sebagai trend perilaku? Boro-boro menyebutnya sebagai trend perilaku, untuk sekedar bertegur sapapun barangkali sudah kita najiskan. Ini mengindikasikan bahwa memang perbedaan status sosial ekonomi di masyarakat sangat mempengaruhi pandangan dan perlakuan terhadap kaum gay. Bila kalangan elite, kita sebut sebagai trend perilaku. Namun bila ia seorang yang miskin, dianggap sebagai kelainan jiwa atau kegilaan moralitas, tidak punya harga diri.

Bagaimana menumbuhkan kesadaran dirinya agar mampu berkreasi atau melakukan perubahan yang progresif jadi luput dari pemikiran kita. Padahal untuk mencapai suatu keberhasilan, kaum gay sangat butuh dukungan dari lingkungan masyarakat. Jadi kalaupun mereka mengadakan kegiatan yang gebyar seperti lomba nyanyi, olahraga atau berbagai kegiatan lainnya, tidak perlu didemo sebagai gerakan reformasi untuk menuntut penghapusan keberadaan kaum gay dari muka bumi ini. Mereka adalah manusia yang butuh pengembangan diri dan mereka memiliki kebutuhan primer biologis sampai dengan kebutuhan aktualisasi potensi diri, yang kesemuanya butuh penyaluran dan penyeimbangan. Kalau kita tidak bisa membantu meringankan beban mereka, maka selayaknya kita tidak menambah penderitaannya. Sebab kalau kita mau jujur dalam hidup ini, kita pasti mengakui bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang tidak punya kelemahan dan kelebihan, termasuk kaum gay.

Upaya apapun yang kita lakukan untuk membumihanguskan kaum gay rasanya akan tetap sia-sia. Bukan berarti kita bersikap pesimis dan terlalu sekuler dalam menerjemahkan pemahaman tentang keberadaan kaum gay. Tetapi ini realita yang perlu kita pikirkan bersama jalan keluarnya. Mereka akan senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang dan bertambah jumlahnya sekalipun mereka tidak bisa melahirkan seorang anak. Oleh karena itu rasanya sangat wajar kalau semua lapisan masyarakat bersedia menghargai dan mengakui mereka sebagai bagian dari masyarakat, serta secara berdampingan meraih sukses dalam kehidupan. Kesediaan kita untuk mengakui eksistensi kaum gay, menerima keberadaan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta kesediaan kita memberi dukungan yang mereka butuhkan dalam kehidupan ini secara wajar, merupakan perwujudan sikap agung manusia berbudaya.

SEJARAH HOMOSEKSUAL



Homoseksualitas mengacu pada interaksi antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Saat ini, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan /atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks.

Homoseksualitas dapat mengacu kepada:
  • orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
  • perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.
  • identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual.
Penggunaan pertama kata homoseksual yang tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1869 oleh Karl-Maria Kertbeny, dan kemudian dipopulerkan penggunaannya oleh Richard Freiherr von Krafft-Ebing pada bukunya Psychopathia Sexualis. Ungkapan seksual dan cinta erotis sesama jenis telah menjadi suatu corak dari sejarah kebanyakan budaya yang dikenal sejak sejarah awal . Bagaimanapun, bukanlah sampai abad ke-19 bahwa tindakan dan hubungan seperti itu dilihat sebagai orientasi seksual yang bersifat relatif stabil.

Di tahun-tahun sejak Krafft-Ebing, homoseksualitas telah menjadi suatu pokok kajian dan debat. Mula-mula dipandang sebagai penyakit untuk diobati, sekarang lebih sering diselidiki sebagai bagian dari suatu proyek yang lebih besar untuk memahami Ilmu Hayat, Ilmu Jiwa, politik, genetika, sejarah dan variasi budaya dari identitas dan praktek seksual. status legal dan sosial dari orang yang melaksanakan tindakan homoseks atau mengidentifikasi diri mereka gay atau lesbian beragam di seluruh dunia.