Rabu, 11 Agustus 2010

Eksistensi Kaum Homoseksual

Homosekualitas pada pria telah ada sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa homoseksual yakni rasa tertarik secara perasaan dan atau secara erotik (seksual) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik, terdapat pada hampir semua bentuk budaya dan lapisan masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap kaum homoseksual dari berbagai kurun waktu sejarahpun ternyata berlainan.
Secara tradisional homoseks dipandang sebagai gangguan atau penyakit jiwa, dan ternyata asumsi tersebut masih tetap berkembang terus di masyarakat kit hingga saat ini. Padahal menurut hasil penelitian Green (1972) bahwa dari segi manapun ditinjau (genetika, antropologi, psikodinamikia, evolusi, neuroendokrinologi, sosio-edukatif) hasilnya adalah tidak valid untuk menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan gangguan jiwa.
Akhir-akhir ini banyak kalangan yang mulai menyadari bahwa homoseks tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan jiwa dan atau deviasi sosial. Homoseks telah dapat dipahami sebagai manifestasi seksualitas manusia yang pada dasarnya adalah suatu kontinum dengan pelbagai gradasi kelabu.

Kontinum seksualitas manusia menurut Kinsey dibagi 7 gradasi, mulai dari angka 0 sampai dengan angka 6. 6:
  • Gradasi (0) Heteroseksual eksklusif (semata-mata/tulen)

  • Gradasi (1) Heterosek lebih menonjol, homoseks hanya kadang-kadang atau gradasinya sedikit saja

  • Gradasi (2) Heteroseks lebih menonjol dan homoseks lebih sering

  • Gradasi (3) Heteroseks dan homoseks gradasinya sama

  • Gradasi (4) Homoseks lebih menonjol, heteroseks lebih sering

  • Gradasi (5) Homoseks lebih menonjol dan heteroseks hanya kadang-kadang

  • Gradasi (6) Homoseksual eksklusif (semata-mata/tulen).
Bila diteliti penyebab homoseks, baik dari segi biologik hormonal, perkembangan psikodinamik maupun pengaruh sosial memberi hasil yang beraneka ragam. Perbedaan hasil kajian ini menyebabkan pandangan masyarakat terhadap kaum homoseks masih tetap kontroversi. Kontrovensi pendapat inilah memicu perlakuan masyarakat yang kurang wajar terhadap kaum homoseks. Mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak punya malu, tidak berbudaya dan menjadi patologi sosial. Seolah mereka lahir di luar lingkungan manusia dan tumbuh karena kutukan Tuhan yang akhirnya berkembang menjadi sampah busuk di tengah masyarakat.

Dapat kita bayangkan jika seorang pria homoseks yang lebih keren disebut 'gay' akan sangat tertekan secara psikologis jika senantiasa harkat dan martabatnya dilecehkan oleh masyarakat. Lantas bagaimana mereka (gay) akan mampu berkarya dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, berperan dalam pengembangan sumber daya manusia bila keberadaan mereka tetap tidak punya tempat di hati masyarakat? Mungkin sangat sedikit di antara kita yang berkenan untuk memikirkan hal tersebut. Sebab kita cenderung takut dianggap bagian dari komunitas kaum gay, jika kita peduli pada permasalahan mereka. Akhirnya masyarakat kita tidak punya kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi mereka dan senantiasa menganggap bahwa kaum gay tidak pantas diperhitungkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Homoseksual memang bukan keberuntungan, akan tetapi bukan pula sesuatu yang memalukan, sebab bukan tindak kejahatan, bukan degradasi dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit kejiwaan. Tetapi apakah semua orang akan mau peduli dan menghargai keberadaan mereka? Rasanya mustahil, sebab jangkauan untuk menghargai dan memahami perasaan mereka, bersimpati atas prestasi kerja mereka, untuk ngobrolpun barangkali kita tidak berkenan. Bahkan ibu kandung sendiri yang bertarung antara hidup dan mati di saat akan melahirkannya, tidak sudi lagi mengakuinya sebagai anak. Alasan malu dan memalukan, aib bagi keluarga, menjadikan keluarga atau orang tua tega untuk mengusirnya dari rumah. Padahal tidak seorangpun di antara kaum gay yang minta untuk dilahirkan ke dunia ini. Apabila anggota keluarga sendiri sudah tidak mau menerima keberadaan seorang gay, maka besar kemungkinan anggota masyarakat akan lebih tidak menerima dan menghargainya. Hal ini tentu sangat menyakitkan bagi seorang gay, sehingga tidak mengherankan jika banyak di antara kaum gay yang melakukan upaya percobaan bunih diri sebagai jalan pintas mengakhiri tekanan batin dan timbunan emosi yang terakumulasi. Mengkonsumsi narkoba untuk menghilangkan luka lara walau sifatnya hanya sementara. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada yang nekad mencari dan berupaya menjerumuskan orang lain untuk memperbanyak jumlah komunitas sebagai wujud perasaan terisolir dari lingkungan masyarakat.

Sebenarnya kita juga sulit bahkan teramat sulit untuk menyalahkan masyarakat yang tidak berkenan menerima keberadaan kaum gay, sebab masyarakat memiliki sistem nilai yang harus dijalankan sesuai peran dan fungsi anggotanya. Kita memiliki sex role (peran jenis), peran sosial dan berbagai peran lain yang diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan kalau kalangan profesionalpun (psikolog, psikiater) yang telah banyak mempelajari tentang prilaku manusia dan kelainan kejiwaan manusia serta faktor diterminannya, masih banyak yang sulit menerima keberadaan kaum gay secara murni. Artinya mereka bisa menerima keberadaan kaum gay hanya karena tuntutan profesi semata. Namun secara jujur dari lubuk hati yang paling dalam, ia sulit untuk menerima dan menghargai eksistensi kaum gay. Ia akan merasa nyaman bila klien yang ternyata seorang gay, tidak datang lagi pada konseling lanjutan. Bila berada di tempat umum misalnya, mereka juga akan menghindar agar jangan sampai bertemu dengan si gay yang menjadi kliennya, sebab sebagai profesional ia tidak ingin nama baiknya tercemar hanya karena bertegur sapa dengan seorang gay.

Menghargai dan mengakui keberadaan kaum gay, juga dipersulit penggolongan jenis kelamin manusia yang sifatnya dikotomis, yakni pria dan wanita. Status pria-wanita sekaligus belum dapat diakui, apalagi harus dicantumkan sebagai identitas pada kartu pengenal. Akhirnya upaya melegitimasi keberadaan kaum gay masih jauh dari angan, sekalipun akhir-akhir ini perkawinan kaum gay telah dapat disahkan oleh dewan gereja tertentu, khususnya di negara Barat. Tetapi tindakan ini masih sangat ditentang banyak kalangan, terutama yang tidak satu paham atau berbeda aliran. Padahal legalisasi ini barangkali ditujukan sebagai upaya menghargai eksistensi mereka sebagai manusia yang butuh penghargaan. Mereka butuh dukungan dari masyarakat, sehingga tidak perlu menyembunyikan kedukaan di balik senyuman dan menyelimuti konflik batin dengan berupaya berpenampilan macho yang akhirnya terkesan munafik.Perlu disadari bahwa kaum homoseks pria tidak minta dilebihkan atau diperlakukan secara istimewa, namun mereka juga tidak ingin dianggap sebagai sampah masyarakat, sebab mereka toh dapat berdaya guna dan menghasilkan suatu karya spektakuler yang dapat dinikmati umat manusia dan demi alasan kemanusiaan.

Kita tidak bisa pungkiri Elton John si penyanyi kondang itu misalnya, mampu menghibur masyarakat dunia lewat lahu-lagunya. Barangkali ia sendiri belum tentu dapat terhibur dengan lagu yang dinyanyikannya, sebab keberadaannya sebagai seorang gay sangat dicemooh banyak anggota masyarakat. Bahkan banyak penggemarnya yang berubah menjadi sangat antipati setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang gay. Beruntung ia seorang artis penyanyi yang populer, sehingga banyak kalangan menganggap pola hidupnya adalah trend perilaku di kalangan selebritis. Orang tidak begitu mau peduli mengapa ia menjadi seorang gay. Apakah pengalaman masa lalunya yang suram ataukah adanya kelainan hormonal. Kalangan ilmuanpun kelihatannya tidak berupaya untuk mengetahui gradasi homoseksualitas dirinya. Semua beranggapan bahwa homoseksualitas adalah trend perilaku orang tenar yang memiliki banyak uang dan sudah lazim terjadi di kalangan artis. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan artis yang kurang beruntung lainnya, atau orang desa yang bekerja sebagai buruh tani dan terlilit hutang dengan rentenir. Maukah kita mengatakannya sebagai trend perilaku? Boro-boro menyebutnya sebagai trend perilaku, untuk sekedar bertegur sapapun barangkali sudah kita najiskan. Ini mengindikasikan bahwa memang perbedaan status sosial ekonomi di masyarakat sangat mempengaruhi pandangan dan perlakuan terhadap kaum gay. Bila kalangan elite, kita sebut sebagai trend perilaku. Namun bila ia seorang yang miskin, dianggap sebagai kelainan jiwa atau kegilaan moralitas, tidak punya harga diri.

Bagaimana menumbuhkan kesadaran dirinya agar mampu berkreasi atau melakukan perubahan yang progresif jadi luput dari pemikiran kita. Padahal untuk mencapai suatu keberhasilan, kaum gay sangat butuh dukungan dari lingkungan masyarakat. Jadi kalaupun mereka mengadakan kegiatan yang gebyar seperti lomba nyanyi, olahraga atau berbagai kegiatan lainnya, tidak perlu didemo sebagai gerakan reformasi untuk menuntut penghapusan keberadaan kaum gay dari muka bumi ini. Mereka adalah manusia yang butuh pengembangan diri dan mereka memiliki kebutuhan primer biologis sampai dengan kebutuhan aktualisasi potensi diri, yang kesemuanya butuh penyaluran dan penyeimbangan. Kalau kita tidak bisa membantu meringankan beban mereka, maka selayaknya kita tidak menambah penderitaannya. Sebab kalau kita mau jujur dalam hidup ini, kita pasti mengakui bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang tidak punya kelemahan dan kelebihan, termasuk kaum gay.

Upaya apapun yang kita lakukan untuk membumihanguskan kaum gay rasanya akan tetap sia-sia. Bukan berarti kita bersikap pesimis dan terlalu sekuler dalam menerjemahkan pemahaman tentang keberadaan kaum gay. Tetapi ini realita yang perlu kita pikirkan bersama jalan keluarnya. Mereka akan senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang dan bertambah jumlahnya sekalipun mereka tidak bisa melahirkan seorang anak. Oleh karena itu rasanya sangat wajar kalau semua lapisan masyarakat bersedia menghargai dan mengakui mereka sebagai bagian dari masyarakat, serta secara berdampingan meraih sukses dalam kehidupan. Kesediaan kita untuk mengakui eksistensi kaum gay, menerima keberadaan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta kesediaan kita memberi dukungan yang mereka butuhkan dalam kehidupan ini secara wajar, merupakan perwujudan sikap agung manusia berbudaya.

1 komentar:

  1. kira-kira,,alasan apa yang menyebabkan seseorang (pria)yang memposisikan dirinya sebagai wanita mampu mencintai pria lain...??? apakah tidak ada alasan secara biologis yang mampu menjawab akan alasan-alasan yang menyebabkan hubungan sesama jenis ini,,misalnya kesalahan kromosom dll

    BalasHapus